Jakarta (ANTARA) – Pewarta Foto Indonesia (PFI) Pusat mengadakan diskusi daring bertema Sinergitas Pers dan Polri dalam rangka memperingati Hari Kebebasan Pers Dunia, Sabtu malam.
Diskusi daring tersebut menghadirkan sejumlah narasumber yakni Kepala Biro Penerangan Masyarakat (Karopenmas) Divisi Humas Polri Brigjen Pol Rusdi Hartono, Pengajar Media dari Universitas Airlangga Surabaya Prof Rachmah Ida, Pewarta Foto Jakarta Globe Agung Yudha Wilis Baskoro dan Sekretaris PFI Palu Taufan Bustan.
Karopenmas Divisi Humas Polri Brigjen Pol Rusdi Hartono dalam paparannya mengungkapkan bahwa keberhasilan Polri tidak lepas dari campur tangan pers.
“Sebanyak 20 persen keberhasilan Polri karena personel-nya sendiri, 20 persen dari keorganisasian dan 60 persen karena publikasi rekan-rekan pers,” ungkap Rusdi.
Berdasarkan data itu, kata Rusdi, Polri melihat pers memiliki posisi yang strategis, sehingga menjadi sesuatu yang tidak mungkin dijauhkan oleh Polri.
Terkait sinergitas Pers dan Polri, lanjut Rusdi, terdapat kerja sama yang produktif dan kemitraan yang humanis dalam menghasilkan karya yang bermanfaat untuk bangsa, negara serta masyarakat.
Sementara itu Prof Rachman ida menilai, konsep kebebasan pers berbeda di setiap negara, menyesuaikan rezim politiknya.
Di Indonesia, kebebasan pers sudah tertulis di Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers dan tercantum di Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 28, bahwa kebebasan pers itu adalah hak segala bangsa, hak setiap masyarakat.
“Di Indonesia berkali-kali menyatakan pers itu bebas. Tapi, nyata-nya, secara praktik kebebasan itu selalu diterjemahkan secara sepihak oleh rezim yang berkuasa,” kata Ida.
Menurut Ida, kebebasan pers tidak pernah ketemu antara insan pers dengan rezim politik yang berkuasa. Meski demikian, kebebasan itu bukan tanpa aturan. Namun, kebebasan untuk menyuarakan kepentingan publik.
“Bukan kepentingan ekonomi, politik dan perusahaan media,” ujarnya.
Baca juga: PFI dorong sinergi polisi dan jurnalis demi tekan kasus intimidasi
Baca juga: AJI catat 14 teror digital yang dialami jurnalis
Ida memaparkan, sinergitas itu harus ada tiga aspek, yang pertama adalah kesepahaman yang sama. Termasuk antara pers dan Polri.
Polri, lanjut dia, harus membuka informasi dan kesempatan kepada pers untuk melakukan investigasi jurnalistik.
“Ini perlu supaya ketika itu dilaporkan, publik tidak tersesat dengan informasi yang keliru,” ucap Ida.
Begitu pula dengan wartawan juga harus memahami cara kerja Polri. Tidak etis ketika memberitakan suatu perkara yang penyidikan-nya belum tuntas.
“Wartawan tidak boleh mengupas sampai detil. Karena takutnya pers atau media justru menjadi hakim untuk menjustifikasi,” katanya.
Alumni Curtin University of Technology, Australia itu melanjutkan, aspek kedua yakni, dalam sinergitas harus ada kerja sama. Artinya, pers dan Polri harus memiliki idealisme yang sama untuk memberikan informasi kepada publik.
Yang ketiga, sinergitas bisa dicapai jika pers dan Polri bisa menghargai etika profesi masing-masing.
“Makanya, saya sangat tertarik sekali dengan diskusi ini. karena kita ingin menuju ke sebuah sinergitas,” ujar Ida.
Dalam Diskusi yang dipandu anggota PFI Jambi, Irma Tambunan ini, Pewarta Fotor Jakarta Globe Agung Wilis Yudha Baskoro memberikan sudut pandangnya bahwa kebebasan pers harus dimaknai sebagai salah satu cara bagi wartawan untuk berkontribusi membangun Indonesia.
Sedangkan Sekretaris PFI Palu M Taufan SP Bustan memberikan catatan, sinergitas pers dan Polri tidak hanya untuk membangun kepercayaan publik. Lebih dari itu, kemitraan pers dan Polri harus dilakukan dengan baik dan benar. Sehingga tidak terjadi arogansi Polri yang diterima pekerja pers.
Baca juga: Akademisi: Kebebasan pers indikator kematangan demokrasi
“Karena faktanya sampai hari ini, tindakan intimindasi bahkan sampai tindakan kekerasan masih dilakukan Polri kepada pers. Kami di PFI Palu mencatat ada dua kasus paling kejam di 2019 dan 2020,” ucap Bustan.
Pewarta: Laily Rahmawaty
Editor: Chandra Hamdani Noor
COPYRIGHT © ANTARA 2021