Tagar #BongkarBiangRusuh muncul di linimasa Twitter dan sempat trending. Tagar ini merangkak naik usai heboh adanya ajakan untuk demo ‘Jokowi End Game‘ terkait penolakan pemberlakuan pembatasan kegiatan masyarakat (PPKM) Darurat. Pada Jumat (23/7/2021) pukul 22.55 WIB, tagar tersebut menempati peringkat ketiga trending. Setidaknya ada 9 ribu cuitan dengan tagar tersebut. Netizen ramai-ramai mendesak agar sosok di balik aksi demo itu diungkap. Ada pula yang mencuit sambil mengunggah poster-poster senada. “Bongkar Aktor Intelektualnya #BongkarBiangRusuh,” tulis salah satu netizen. “Negara sedang berduka koq bisa²nya oposisi manfaatkan pandemi utk mengambil kekuasaan. Memang sudah gila dan haus kekuasaan #BongkarBiangRusuh,” kata yang lain.”Ayo bongkar politik kotor yang manfaatkan situasi covid untuk jatuhkan pemerintah yang sah. Mereka sudah tak punya hati nurani #BongkarBiangRusuh,” cuit netizen berikutnya. Aksi massa tersebut rencananya dilakukan pada 24 Juli dengan melakukan long march dari Glodok ke Istana Negara. Lalu mengapa media online berpengaruh memberitakannya? Kriteria berita seperti apa yang dimuat oleh sebah media, khususnya edia online? Apakah media online sudah memberitakannya secara objektif?
Jakarta, 24 Juli 2021 – Menurut salah satu pakar komunikasi yang berpihak pada pemerintah,
Ade Armando ikut mencuitkan poster yang beredar berisi seruan aksi massa bertajuk ‘Jokowi End Game‘. Ade Armando mencium gelagat makar terhadap Presiden Jokowi. Dia menuding aksi itu ditunggangi politikus.Dia menyebut aksi ini direncanakan mahasiswa, tapi mahasiswa itu sebenarnya dimanfaatkan politikus busuk.”Sementara orangtua mereka, keluarga mereka, tetangga, rakyat bersatu padu mengatasi pandemi; para mahasiswa dungu dimanfaatkan politisi busuk untuk bikin gerakan menggulingkan Jokowi,” cuit Ade Armando.
Menanggapi hal itu, Kabid Humas Polda Metro Jaya Kombes Yusri Yunus memaparkan kondisi COVID-19 di Indonesia dan khususnya di Jakarta. Masyarakat diminta memahami situasi COVID-19 yang sedang mengganas ini dengan tidak melakukan kerumunan. “Lihat rumah sakit, kuburan, udah penuh. Apa mau diperpanjang lagi PPKM ini sementara masyarakat mengharapkan supaya bisa relaksasi. Tapi intinya di sini bagaimana masyarakat mau sadar, mau disiplin hindari kerumunan,” ujar Yusri kepada wartawan di Polda Metro Jaya, Jumat (23/7/2021).
Yusri kemudian menjelaskan soal kebijakan pemerintah memberlakukan PPKM level 4 untuk mencegah penyebaran COVID-19 semakin luas. Harapannya, setelah PPKM Level 4 selesai, angka COVID-19 menurun sehingga pemerintah melakukan relaksasi. “Coba bagaimana kalau bikin lagi kegiatan kumpul-kumpul menyampaikan pendapat di panggung dan membuat kerumunan, apakah tidak bisa menjadi klaster kerumunan lagi? Tolong temen-temen yang berniat akan melakukan kegiatan penyampaian pendapat, gunakan (media sosial) dengan bijak,” tuturnya.
PPKM darurat yang akan berlaku hingga 20 Juli 2021 ternyata memantik provokasi segelintir orang untuk unjuk rasa untuk menentangnya. Masyarakat diminta untuk tidak terprovokasi karena dapat menciptakan cluster COVID-19 dan menghambat penanganan pandemi.
Ajakan Provokasi Demo Anti PPKM Darurat
Setahun lebih pandemi membuat masyarakat terbiasa dengan aturan dan pembatasan, mulai dari PSBB hingga PPKM darurat. Namun ketika ada PPKM darurat, mereka agak terkejut karena lagi-lagi ada pelarangan mobilitas warga dan ada penyekatan dengan tegas. Lantas, ada yang menginisiasi untuk berunjuk rasa menentang PPKM karena merasa program ini kurang bermanfaat.
Sebelum ajakan demo #JokowiEndGame, di media sosial, beredar ajakan untuk melakukan Demonstrasi menentang PPKM Darurat di Bandung pada 21, 22, 23 Juli 2021 di Gedung DPRD Kota Bandung. Ajakan serupa juga sebelumnya viral di beberapa kora seperti Pasuruan hingga Kediri. Netizen langsung berkomentar dan ada yang pro, juga ada yang kontra. Ketua Tanfidziyah PCNU Kota Kediri KH Abu Bakar Abdul Jalil mengungkapkan pendapatnya mengenai demo PPKM Darurat. Ulama yang akrab disapa dengan sebutan Gus Ab ini tidak menyetujui unjuk rasa dan meminta warga untuk tidak terpancing. Penyebabnya karena acara ini tidak memiliki izin dan lebih banyak mudharatnya daripada manfaatnya. Masyarakat diminta untuk tidak terpantik emosinya karena ajakan untuk demonstrasi, apalagi menggelar acara serupa di kota atau kabupaten lain. Penyebabnya karena mereka harus menyadari bahwa PPKM adalah program untuk menyelamatkan warga dari bahaya corona, bukan menjerumuskan mereka.
Mengapa masyarakat dilarang untuk terprovokasi demo anti PPKM? Penyebabnya karena kasus COVID-19 harian di Indonesia sudah lebih dari 40.000 orang, dan lonjakan ini benar-benar memusingkan. Jika ada unjuk rasa, apalagi di banyak tempat, maka akan ada kumpulan massa dan menaikkan kasus COVID-19 di negeri ini. Oleh karena itu, jangan mudah termakan hasutan provokator. Bagaimana bisa mereka menolak PPKM? Bayangkan jika tidak ada PPKM dan penyekatan antar kota/kabupaten dan provinsi, maka jumlah pasien akan makin naik. Penyebabnya karena mobilitas massal otomatis membuat kasus corona makin banyak, karena orang bergerak dari zona merah atau sebaliknya dan membawa virus COVID-19.
Apalagi virus COVID-19 varian delta yang sudah tersebar belakangan ini, amat berbahaya daripada varian alfa alias yang baru pertama kali masuk ke Indonesia tahun lalu. Virus ini bisa berpindah dari OTG (orang tanpa gejala) ke orang yang sehat (tanpa masker) dan akhirnya menyebar. Jika benar-benar terjadi akan sangat fatal karena bisa menyebabkan kematian massal yang mengerikan. Jika masyarakat langsung tersulut emosinya karena provokasi, dan mengikuti demo anti PPKM darurat, baik di Pasuruan atau wilayah lain, maka takut akan membentuk klaster corona baru. Penyebabnya karena saat unjuk rasa pasti ada kumpulan massa yang berpotensi menyebabkan penyebaran virus COVID-19. Saat demo pasti susah akan menjaga jarak, sehingga keadaannya sangat rentan penularan corona.
Sudah pasti demo anti PPKM Darurat akan dibubarkan oleh aparat, karena tidak memiliki izin dari kepolisian. Aparat tidak akan pernah mengizinkan demo di saat pandemi, karena ada kerumunan dan tidak bisa menerapkan physical distancing. Sehingga otomatis melanggar 2 poin dalam protokol kesehatan dan menggagalkan program pemerintah. Masyarakat dihimbau untuk tidak mengikuti demo anti PPKM Darurat, karena program ini dibuat justru untuk menyelamatkan nyawa mereka dari bahaya virus COVID-19. Jika ada untuk rasa anti PPKM maka akan dibubarkan, karena jelas melanggar aturan jaga jarak dan membuat kerumunan dengan sengaja, sehingga dikhawatirkan membuat klaster corona baru.
Lalu kenapa media online berpengaruh memuat demo anti PPKM Darurat bahkan demo #JokowiEndGame?
Untuk itu kita harus memahami bahwa media online melalui saluran internet merupakan medium yang bersifat terbuka, inklusif, dan interaktif yang telah menyebabkan produksi dan distribusi konten atau informasi menjadi lebih cepat dan murah. Garis pembatas antara produsen dan konsumen informasi, dalam medium ini, semakin tidak jelas. Setiap orang dapat memproduksi, mendistribusi serta mengkonsumsi konten melalui internet atau lebih dikenal dengan istilah “Prosumer”. Salah satu dampak dari perkembangan teknologi informasi dan komunikasi bagi industri media adalah digitalisasi konten. Digitalisasi ini mengubah cara produksi dan distribusi konten dalam industri media. Digitalisasi serta perilaku konsumsi media digital mempengaruhi keberlangsungan industri media cetak. Produksi oplah cetak mengalami penurunan di Indonesia setidaknya sejak tahun 2014. Hal ini terlihat dari penurunan jumlah oplah media cetak (surat kabar harian) yang mengalami penurunan sejak 2014 dari sebesar 9.597.127 menjadi 8.791.301 oplah di tahun 2015 (Serikat Perusahaan Pers, 2016). Jumlah tersebut diprediksi akan terus menurun di tahun-tahun berikutnya. Tren yang sama juga terlihat pada surat kabar mingguan, majalah dan tabloid.
Selain perkembangan teknologi, penetrasi media sosial dan smartphones – yang dikuasai oleh generasi digital native – turut mempengaruhi perubahan konsumsi media dari cetak ke bentuk digital. Dalam surveinya, APJII (2016) menemukan bahwa usia pengguna internet di Indonesia didominasi oleh kelompok usia 25 hingga 34 tahun (75.8%). Tidak hanya itu, studi tersebut juga menemukan bahwa “update informasi” merupakan motivasi dominan seseorang mengakses internet. Ada tiga klasifikasi konten yang sering dikunjungi oleh pengguna internet, berdasarkan studi yang sama, yaitu: media sosial (97.4%), hiburan (96.8%) dan berita (96.4%) (hal.22). Sumber informasi di era digital akan dikuasai oleh media daring. Media daring (atau juga disebut ‘media siber’) diartikan sebagai “segala bentuk media yang menggunakan wahana internet dan melaksanakan kegiatan jurnalistik, serta memenuhi persyaratan Undang-Undang Pers dan Standar Perusahaan Pers yang ditetapkan Dewan Pers”.
Meski secara sistem kerja berbeda dengan media cetak konvensional, media daring memiliki etika serta kewajiban yang harus dipenuhi sama dengan media cetak pada dasarnya. Selama media tersebut melakukan kegiatan jurnalistik dan tunduk pada kode etik jurnalistik, maka berita yang disajikan harus berimbang dan terverifikasi. Kata ‘objektivitas’ melekat pada kinerja dan etika jurnalis media. Objektivitas – dan juga ketidakberpihakan (impartiality) – merupakan norma bagi jurnalis profesional untuk menghindari bias ataupun subyektivitas serta mendorong kepercayaan bagi profesi jurnalisme itu sendiri.
Objektivitas merupakan topik yang masih diperdebatkan di kalangan ilmuwan sosial. Tidak sedikit perdebatan tersebut menyinggung pada bidang jurnalisme ketika mendefinisikan objektivitas secara operasional untuk mendukung pekerjaannya. Sebagai contoh, Andrén dan koleganya mendefinisikan objetivitas secara operasional yaitu objektivitas akan tercapai apabila memenuhi syarat sebagai berikut: it contains true assertions, it is mot misleading, it contains essential assertion, dan it is thorough. Definisi operasional ini tentu mengundang perdebatan di kalangan jurnalis: siapa yang menentukan pernyataan tersebut benar atau tidak? Serta kapan dan bagaimana produk berita dikatakan menyesatkan (misleading) atau mengandung pernyataan yang esensial?
Perdebatan lainnya terkait objektivitas adalah konsep keberimbangan (balance). Dalam bukunya “Advanced Reporting: Discovering Patterns in News Events”, Shaw dan koleganya (1979) berpendapat bahwa jurnalis harus memaparkan argumen yang berimbang terkait isu yang diangkat dalam berita. Sementara pakar media lainnya, Wien berpendapat bahwa pernyataan Shaw ini menimbulkan adanya derajat atau level keberimbangan. Jurnalis yang satu dapat lebih berimbang daripada yang lain. Untuk itu, perlu ada definisi yang jelas terkait seberapa jauh seorang jurnalis dapat dikatakan berimbang dan juga akurat. Hal ini juga sangat bergantung pada pemahaman pribadi jurnalis yang bersangkutan untuk menilai apakah berita yang disajikan tersebut berimbang atau tidak.
Konsep ‘benar’ (truth) dan ‘realitas’ (reality) merupakan bagian yang tidak lepas dari objektivitas. Pakar media lainnya, Wien berpendapat bahwa jurnalis, sama halnya dengan ilmuwan sosial, menggunakan pendekatan positivis dalam memahami ‘objektivitas’. Menurut pendekatan positivis, pengetahuan hanya dapat diperoleh melalui indera (sense) manusia. Objektivitas dengan pendekatan positivis ditandai oleh dua bagian: objektif dan subjektif. Subjektif artinya ada campur tangan penilaian pribadi dalam pengetahuan atau kebenaran. Sementara, objektif artinya memaparkan fakta tanpa mengikutsertakan opini pribadi. Pakar media dari luar negeri, Sambrook mengartikan objektivitas sebagai upaya untuk menghindari pertimbangan atau sangkaan pribadi (subjective judgment) dengan mempresentasikan fakta dan data. Jadi, jurnalis yang objektif dalam pendekatan positivis adalah mereka yang menulis berita berdasarkan fakta atau hasil pengamatan suatu kejadian. Dalam hal ini, seorang jurnalis bertanggung jawab atas kebenaran dan ketidakbenaran dari data-data yang didapatnya di lapangan. Namun, permasalahan yang dihadapi oleh jurnalis ketika menempatkan fakta dalam konteks yang tidak mungkin lepas dari pemahaman pribadi.
Objektivitas Berita di Meia Online
“Kesegeraan” (immediacy) menjadi sifat alamiah dari media daring. Kecepatan ini tidak diimbangi dengan prosedur verifikasi terhadap isi berita karena ketiadaan atau minimnya peran aktor pengendali konten (gatewatch) laiknya dalam prosedur produksi media cetak. Karena sifatnya yang terbuka dan serba cepat, internet mengubah sistem kerja jurnalis dan editor menjadi lebih cepat sehingga kurang melakukan pengecekan kembali terhadap isi berita. Faktor lain yang mempengaruhi objektivitas berita daring yang semakin kritis adalah faktor penyajian konten digital. Konten berita daring sangat berbeda dengan konten berita cetak, yang lebih memberatkan pada berita sensasional dengan gaya seperti majalah. Hal ini wajar untuk merebut perhatian pembaca daring di lingkungan hypertext dan hypermedia seperti internet, yakni lingkungan di mana informasi yang disajikan tidak saja terhubung dengan multi links, tetapi juga memungkinkan adanya fitur seperti infografis, audio dan video. Penyajian teks tidak perlu sepanjang yang ada di media cetak, yang terpenting berita terus di-update, ringkas, dan cepat dalam hitungan menit, bahkan detik.
Pola kerja seperti ini berdampak pada profesionalisme jurnalis dan media. Setidaknya ada tiga hal: akurasi, transparansi, serta minimnya penghargaan terhadap jurnalis. Akurasi sulit dicapai karena jurnalis daring cenderung tidak melakukan proses verifikasi pada informan yang terlibat. Tidak jarang juga, siaran pers dari instansi tertentu dijadikan berita, tanpa verifikasi pada pihak lain yang mungkin terlibat atau terkena dampak dari siaran pers tersebut. Transparansi semakin meningkat pada media daring, termasuk metode pengumpulan berita yang dilakukan jurnalis. Terakhir, penghargaan terhadap karya jurnalis semakin melemah akibat hadirnya co-production yang melibatkan non-jurnalis profesional dalam produksi berita (jurnalisme warga atau citizen journalism).
Objektivitas menjadi perhatian bagi regulator di Indonesia. Dewan Pers mengeluarkan
“Pedoman Pemberitaan Media Siber” tahun 2012 yang berisi prosedur atau pedoman verifikasi
dan keberimbangan berita pada media siber dan juga isi buatan pengguna (user generated content). Pada poin “Verifikasi dan Keberimbangan Berita” disebutkan bahwa setiap berita wajib diverifikasi, kecuali beberapa ketentuan sebagai berikut: berita benar-benar mengandung kepentingan publik yang bersifat mendesak.
Sumber berita yang pertama adalah sumber yang jelas disebutkan identitasnya, kredibel
dan kompeten, subyek berita yang harus dikonfirmasi tidak diketahui keberadaannya dan atau tidak dapat diwawancarai, media memberikan penjelasan kepada pembaca bahwa berita tersebut masih memerlukan verifikasi lebih lanjut yang dupayakan dalam waktu secepatnya. Penjelasan dimuat pada bagian akhir dari berita yang sama, di dalam kurung dan menggunakan huruf miring.
Pakar media domestik, Sudibyo berpendapat bahwa semua ketentuan-ketentuan tersebut bersifat saling melengkapi, bukan menggantikan. Meskipun, ketentuan poin 1 sudah terpenuhi, berita daring perlu memastikan poin-poin lainnya. Artinya, media siber perlu memastikan adanya upaya untuk menghubungi informan yang kredibel untuk berita tersebut. Konstruksi atas realitas didefinisikan sebagai proses sosial melalui tindakan dan interaksi dimana individu menciptakan suatu realitas yang dimiliki dan dialami bersama secara subjektif. Konstruksi sosial merupakan sebuah teori sosiologi kontemporer yang diperkenalkan oleh Peter L. Berger dan Thomas Luckman. Berger dan Luckman menyakini secara subtansif bahwa realitas merupakan hasil ciptaan manusia kreatif melalui kekuatan konstruksi sosial terhadap dunia sosial di sekelilingnya.
Bahasa merupakan unsur utama dalam pembentukan konstruksi realitas media dan instrument pokok untuk menceritakan realitas. Bahasa adalah alat konseptualisasi dan alat narasi. Dalam konteks media massa, keberadaan bahasa tidak lagi hanya berfungsi sebagai alat untuk menggambarkan realitas melainkan bisa menentukan gambaran (makna citra) mengenai suatu realitas-realitas media yang akan muncul dibenak khalayak. Berdasarkan pemahaman tersebut, maka penggunaan bahasa berimplikasi pada pemberitaan. Dari uraian tersebut, media telah menjadi sumber informasi yang dominan tidak saja bagi individu tetapi juga bagi masyarakat dalam gambaran realitas mengenai suatu peristiwa. Ada dua konsep dalam melihat realitas yang direfleksikan media. Pertama, konsep media secara aktif memandang media sebagai partisipan yang turut mengkonstruksi pesan sehingga muncul pandangan bahwa tidak ada realitas sesungguhnya dalam media. Kedua, konsep media secara pasif, memandang media hanya sebagai saluran yang menyalurkan pesan- pesan sesungguhnya, dalam hal ini media berfungsi sebagai sarana yang netral, media menampilkan suatu realitas apa adanya.
Media Online dan Gerakan Sosial
Menurut kamus besar Bahasa Indonesia, gerakan sosial merupakan tindakan atau agitasi terencana yang dilakukan oleh suatu masyarakat yang disertai program terencana dan ditujukan pada suatu perubahan atau sebagai gerakan perlawanan untuk melestarikan pola-pola dari lembaga masyarakat yang ada. Gerakan sosial secara teoritis merupakan sebuah gerakan yang lahir dari dan atas prakarsa masyarakat dalam usaha menuntut perubahan dalam institusi. Kebijakan atau struktu pemerintah. Disini terlihat tuntutan perubahan itu biasanya karena kebijakan pemerintah tidak sesuai lagi dengan konteks masyarakat yang ada atau kebijakan itu itu bertentangan dengan kehendak sebagian rakyat.
Dari literatur tentang definisi gerakan sosial, adapula mengartikan gerakan sosial sebagai gerakan anti pemerintah dan juga pro pemerintah. Ini berarti tidak selalu gerakan sosial itu muncul dari masyarakat tapi bisa juga hasil rekayasa para pejabat pemerintah atau penguasa. Salah satu efek dari framing adalah terbentuknya suatu gerakan sosial yang berkaitan dengan opini publik. Hal ini dikarenakan ketika isu tertentu dikemas dengan bingkai tertentu bisa mengakibatkan pemahaman khalayak yang berbeda atas suatu isu. Misalnya, menertibakan demo anti PPKM Darurat yang terjadi Bandung adalah upaya menjaga ketertiban dan menjaga peraturan prokes di masa pandemi. Karena itu ada sejumlah penangkapan terhadap pelaku demo dan masyarakat ajkan memahaminya.
Terbukti kemasan tersebut berhasil menarik dukungan masyarakat dan mobilisasi massa. Framing atas isu umumnya banyak dipakai dalam literatur gerakan sosial. Dalam suatu gerakan sosial, ada strategi bagaimana supaya khalayak mempunyai pandangan yang sama atas suatu isu. Itu seringkali ditandai dengan menciptakan masalah bersama, musuh bersama, dan pahlawan bersama. Hanya dengan itu, khalayak bisa digerakkan dan dimobilisasi. Semua itu membutuhkan frame alias bingkai; bagaimana isu dikemas, bagaimana peristiwa dipahami, dan bagaimana pula kejadian didefinisikan dan dimaknai.
Sejalan dengan pengertian gerakan sosial diatas, Herbert Blumer merumuskan gerakan sosial sebagai sejumlah besar orang yang bertindak bersama atas nama sejumlah tujuan atau gagasan. Robert Misel dalam bukunya yang berjudul teori pergerakan sosial memandang bahwa gerakan sosial sebagai seperangkat keyakinan dan tindakan yang tak terlembaga yang dilakukan oleh sekelompok orang untuk memajukan atau menghalangi perubahan dalam masyarakat.
Media Massa Membentuk Konstruksi Realitas
Media massa hadir dalam menyusun dan menyajikan informasi tidaklah bersifat secara netral dan objektif, melainkan media massa memiliki sisi lain yang diyakini untuk membentuk dan mengkonstruksi atas realitas sebelum disampaikan pada publik. Sehingga subtansi dari teori konstruksi sosial media massa adalah pada sirkulasi informasi yang cepat dan luas, sehingga konstruksi sosial berlangsung dengan sangat cepat dan sebarannya merata. Realitas atau peristiwa yang terkonstruksi itu juga mampu membentuk opini massa, massa cenderung apriori dan sinis.
Paradigma konstruktivis dalam pandangan sosial menjelaskan bahwa realitas diciptakan oleh individu. Artinya, manusia adalah aktor yang kreatif dalam menciptakan kekuatan konstruksi terhadap dunia sosial di sekelilingnya. Paradigma yang dibangun dengan tujuan untuk menanamkan nilai-nilai media dalam benak masyarakat. Media menawarkan opini-opini yang mampu mempengaruhi pesan secara kognisi, sehingga implikasinya berakibat pada perubahan sikap dan perilaku seseorang dalam memahami berita. Media tidak hanya memberikan informasi yang baru, melainkan pada tataran membangun nilai dalam pikiran dan benak seseorang untuk terlibat.
Mengingat sifat dan fakta pekerjaan media massa adalah menceritakan berbagai proses peristiwa-peristiwa, kesibukan utama media massa adalah mengkonstruksi berbagai realitas yang disiarkan. Media menyusun realitas dari berbagai peristiwa yang terjadi hingga menjadi cerita atau wacana yang bermakna. Dapat disimpulkan bahwa seluruh isi media merupakan realitas yang telah dikonstruksikan dalam bentuk konstruksi wacana. Pekerjaan media elektronik maupun online pada hakikatnya adalah mengkonstruksikan realitas. Isi media adalah hasil para pekerja media mengkonstruksikan berbagai realitas yang telah dipilihnya. Salah satu diantaranya realitas politik hingga pada ranah kepentingan kelompok atau organisasi media. Proses konstruksi media massa melalui berbagai tahapan diantarnya: Tahap menyiapkan materi konstruksi. Menyiapkan materi konstruksi sosial adalah tugas redaksi media massa, tugas itu didistribusikan pada desk editor yang ada di setiap media massa. Masing-masing media memiliki desk yang berbeda-beda sesuai dengan kebutuhan dan visi suatu media. Isu-isu penting setiap hari menjadi fokus media massa, terutama yang berhubungan keberpihakan media kepada kapitalisme, keberpihakan semu kepada masyarakat agar mampu menarik empati masyarakat, dan keberpihakan pada kepentingan umum.
Selanjutnya adalah tahap sebaran Konstruksi. Pada umumnya sebaran konstruksi sosial media massa menggunakan model satu arah. Media menyodorkan informasi, sementara konsumen media tidak memiliki pilihan lain kecuali mengonsumsi informasi itu. Prinsip dasar dari sebaran konstruksi sosial media massa adalah semua informasi harus sampai pada pembaca secepatnya dan setepatnya berdasarkan pada agenda media. Apa yang dipandang penting oleh media menjadi penting pula bagi pembaca. Terakhir, tahap pembentukan realitas setelah sebaran konstruksi, dimana pemberitaan telah sampai pada pembaca yaitu terjadi pembentukan konstruksi di masyarakat melalui tiga tahap yang berlangsung secara generik. Pertama, konstruksi realitas pembenaran; kedua, kesediaan dikonstruksi oleh media massa; ketiga, sebagai pilihan konsumtif.
Tahap pertama adalah konstruksi pembenaran sebagai suatu bentuk konstruksi media massa yang terbangun di masyarakat yang cenderung membenarkan apa saja yang ada (tersaji) di media massa sebagai sebuah realitas kebenaran. Dengan kata lain, informasi media massa sebagai otoritas sikap untuk membenarkan sebuah kejadian.
Tahap kedua adalah kesediaan dikonstruksi oleh media massa, yaitu sikap generik dari tahap pertama. Bahwa pilihan seseorang untuk menjadi pembaca media massa adalah karena pilihannya untuk bersedia pikiran-pikirannya dikonstruksi oleh media massa.
Tahap ketiga adalah menjadikan konsumsi media massa sebagai pilihan konsumtif, dimana seseorang secara habit tergantung pada media massa. Media massa adalah bagian kebiasaan hidup yang tak bisa dilepaskan. Pada tingkat tertentu, seseorang merasa tak mampu beraktivitas apabila apabila ia belum membaca membaca media massa, yang kini mayoritas didominasi oleh media online. Karena dapat dibaca kapan saja, dimana saja dan saat itu pula.
Nah, dengan pemaparan tentang konsep, landasan hingga cara kerja pemberitaan media massa, khususnya media online di zaman sekarang maka tak heran jika media-media onine akan memberitakan isu apapun termasuk ajakan demo provokasi anti PPKM Darurat hingga #JakowiEnd Game. Sebab kriteria isu tersebut sudah masuk area kepentingan masyarakat banyak yang amat sangat patut diberitakan. Sekarang tinggal upaya pemerintah saja mampu mengelola isu dengan baik sehingga masyarakat (alias pembaca) dapat memahaminya dan berpihak pada pemerintah. (EKS/berbagai sumber).