Kepala Staf Angkatan Darat Jenderal Andika Perkasa mengatakan rencana kerja sama pendidikan antara Polri dengan TNI AD mulai direalisasikan. Tahun 2021 dimulai tingkat bintara adapun untuk tamtama akan dilakukan awal tahun depan. Bisakah ini meredam konflik TNI-Polri yang kerap terjadi ?
Jakarta – (12/11/21). Pernyataan Andika disampaikan setelah menerima kedatangan Kepala Lembaga Pendidikan dan Pelatihan Polri Komisaris Jenderal Rycko Amelza Dahniel di Markas Besar TNI AD. Pertemuan tersebut sekaligus menandatangani naskah kerja sama TNI AD dan Polri berjudul Penyelenggaraan Kegiatan Terintegrasi Pada Pendidikan Pembentukan/Pendidikan Pertama, Pendidikan Pengembangan/Pendidikan Pembentuk Perwira dan Pendidikan Pengembangan Umum.
Kerja sama pendidikan integrasi tersebut tidak hanya dilakukan pada tingkat perwira menengah ke atas saja, namun juga pada tingkat perwira pertama, bintara, hingga tamtama. Rencananya kerja sama pendidikan integrasi ini dimulai pada akhir 2021 di tingkat anggota serta prajurit bintara TNI AD dan Polri hingga Kowad serta polwan selama satu pekan di Sekolah Polisi Negara di Polda seluruh Indonesia. “Untuk bintara semuanya nanti di bawah Komandan Kodiklat. Kemudian, bintara Kowad juga dilaksanakan tahun ini,” ujar Andika Perkasa.
Komandan Kodiklat TNI AD Letnan Jenderal AM Putranto mengatakan, minggu ini akan langsung bekerja dan menindaklanjuti tim sehingga ada kesamaan langkah. “Diharapkan dengan pendidikan bersama ini akan terbangun rasa kebersamaan dan saling memahami masing-masing tugas pokok,” kata dia.
Adapun Rycko Amelza Dahniel mengatakan, kerja sama itu juga diharapkan dapat membangun rasa kebangsaan, khususnya rasa solidaritas dan sinergitas antara satu dengan yang lainnya. “Kita pahami bahwa TNI-Polri diberikan amanah sebagai kekuatan utama bangsa ini, sebagai kekuatan utama mengawal persatuan, pengawal keutuhan kedaulatan NKRI,” kata dia ihwal pertemuannya dengan Jenderal Andika Perkasa.
Konflik TNI AD – Polri
Pendidikan di lingkungan TNI dan Polri mempunyai peranan dalam membentuk postur prajurit dan anggota kepolisian. Pendidikan untuk membentuk warga negara yang memenuhi syarat dan terpilih menjadi Perwira, Bintara dan Tamtama ditempuh melalui pendidikan pertama untuk TNI dan pendidikan pembentukan bagi Polri dengan tujuan agar memiliki sikap mental dan kepribadian, pengetahuan dan keterampilan serta kesamaptaan jasmani untuk melaksanakan tugas sebagai prajurit dan anggota kepolisian.
TNI dan Polri sebagai aparatur negara harus dilandasi dengan semangat kebersamaan, kekompakan, rasa setiakawan, senasib dan seperjuangan. Namun kenyataannya, berdasarkan data Pusat Studi Politik dan Keamanan Unpad, pasca reformasi tahun 1999 sampai dengan 2015 telah terjadi konflik antara TNI dengan Polri yang mengakibatkan korban jiwa setidaknya 253 orang dan 208 unit materiil rusak. Diantaranya konflik antara TNI dan Polri dalam kasus pembakaran Mapolres Ogan Komering Ulu (OKU), Sumatera Selatan pada tanggal 7 Maret 2013 dan konflik anggota Yonif 134 Tuah Sakti dengan Brimob Polda KepulauanRiau pada tanggal 19 November 2014.
Konflik antara TNI dan Polri selama ini diantaranya disebabkan semangat esprit decorps (jiwa korsa) yang keliru, arogansi, dan lain-lain. Beberapa langkah strategis telah dijalankan demi memutus mata rantai konflik antara TNI dan Polri diantaranya melalui pendidikan integrasi taruna Akademi TNI dan Akademi Kepolisian Indonesia untuk membangun kebersamaan TNI serta Polri. Namun hal ini belum dapat menyelesaikan konflik secara tuntas pada tataran bawah.
Ketua Presidium Indonesian Police Watch (IPW) Neta S.Pane memberikan pernyataan bahwa “Akibatnya bentrokan antar jajaran bawah TNI dan Polri tetap saja terjadi. Anehnya lagi, akibat banyaknya bentrokan TNI dan Polri, sistem pendidikan TNI dan Polri di tingkat akademi disatukan. Padahal yang bentrok selama ini tidak pernah menyangkut kalangan atas atau alumni akademi. Yang bentrok hanyalah jajaran ”bawah”. Oleh karena itu, pendidikan integrasi juga harus dilakukan di lembaga pendidikan pada tataran pendidikan tingkat bawah.
Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Nomor VI/MPR/2000 tentang Pemisahan TNI dan Polri kemudian disusul dengan dikeluarkannya TAP Nomor VII/MPR/2000 tentang peran TNI dan Polri, yang mengatur tugas Polri di bidang keamanan dan TNI di bidang pertahanan dari ancaman luar merupakan keputusan politik yang tepat. Namun, TAP MPR Nomor VII/MPRRI/2000 ini justru menyebabkan terjadinya potensi konflik antara TNI dan Polri dalam menjalankan fungsi-fungsi pertahanan dan keamanan.
Di sisi lain, dengan pemisahan tugas, di mana TNI hanya menangani masalah pertahanan dan Polri menangani masalah keamanan, telah menimbulkan persoalan yang kompleks di lapangan. Institusi TNI dan Polri merupakan suatu badan yang berbeda. TNI adalah suatu institusi kombatan (tempur), sedangkan Polri adalah non kombatan (non tempur). Polri hanya menangani apa yang disebut dengan crime justice system, atau yang lebih dikenal dengan Keamanan danKetertiban Masyarakat (Kamtibmas).
Menurut studi yang dilakukan Komandan Seskoad Mayor Jenderal Kurnia Dewantara, antara tahun 2010 – 2017, tercatat ada sekitar 17 kali konflik/bentrok antara anggota Polri dan TNI AD. Konflik yang kerap terjadi, bahkan sudah amat meresahkan masyarakat.
Presiden Joko Widodo telah menginstruksikan para pejabat terkait segera mencari solusi bersifat menyeluruh dan permanen. Pimpinan TNI-Polri pun telah meresponsnya dengan tindakan tegas berupa pencopotan para pejabat yang memang seharusnya bertanggung jawab, penghukuman, dan pemecatan anggota yang terlibat, dan terakhir ada wacana untuk menyatukan kembali pendidikan basis selama 3-4 bulan seperti masa lalu.
Akar Persoalan
Pertanyaannya, apakah semua tindakan ini akan jadi solusi permanen? Menurut Kiki Syahnakri Ketua Badan Pengkajian Persatuan Purnawirawan Angkatan Darat (PPAD), jawabnya tentu ”tidak” karena belum menyentuh akar masalahnya.
Bak akar serabut yang berkelindan saling memengaruhi, akar masalahnya sangat rumit karena menyentuh masalah kultural. Di antaranya yang sangat penting, pertama, faktor psikologis-kultural. Pada umumnya anggota TNI (khususnya TNI AD) belum terlepas dari perasaan superioritas masa lalu sebagai saudara tua ketika Polri masih tergabung dalam ABRI. Sebaliknya, masih menurut Kiki, di kalangan Polri tumbuh sikap overacting, euforia kewenangan, arogansi, sebagai ekses pemisahannya dari ABRI serta diberlakukannya Undang- Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian yang memberikan kewenangan amat luas dalam fungsi keamanan dalam negeri.
Lainnya, sikap kebanggaan korps yang berlebihan sehingga satu-sama lain merasa lebih hebat. Sikap ini lebih meningkat lagi ketika diberlakukan pemakaian atribut yang seharusnya jadi simbol keistimewaan korps militer, seperti pemakaian baret dan pakaian loreng.
Kini di lingkungan TNI, satuan administrasi sampai Babinsa pun memakai baret. Polri tak mau kalah, berbagai warna baret diberlakukan di beberapa unsurnya, bahkan terakhir telah diberlakukan pula pemakaian loreng Brimob yang dulunya hanya dikenakan oleh satuan khusus Resimen Pelopor.
Berikutnya, masalah kecemburuan akibat jomplangnya kesejahteraan. Perlu digarisbawahi bahwa perbedaan mencolok kesejahteraan ini bukan disebabkan masalah gaji, melainkan karena kalangan Polri memiliki kesempatan lebih luas mencari penghasilan tambahan seiring dimilikinya kewenangan yang amat lebar tadi.
Pada sisi lain, disiplin, penegakan hukum, serta keteladanan pimpinan pada kedua institusi amat lemah. Berbagai faktor psikologis tadi sering menjadi pemicu bentrokan di lapangan, masalah kecil seperti saling pandang atau senggolan saja bisa menimbulkan perkelahian antarkorps.
Masalah regulasi, TAP MPR No VI dan VII Tahun 2000 yang lahir di tengah euforia reformasi telah memisahkan secara ”mutlak-diametral” fungsi pertahanan-keamanan (hankam) mengakibatkan tidak terpadunya penanganan masalah itu. Fungsi keamanan mutlak diemban Polri, fungsi pertahanan jadi ranah TNI dengan penekanan hanya untuk menghadapi ancaman militer dari luar.
Fungsi Overlapping
Padahal, kenyataannya kedua fungsi bersifat overlapping, masalah keamanan dapat berkembang eskalatif, terkadang tak bisa diprediksi, sehingga secara cepat memasuki ranah pertahanan karena telah mengancam kedaulatan, keselamatan bangsa, dan keamanan negara. Contohnya, peristiwa rasial di Amerika Serikat tahun 1981 dan yang terjadi belakangan ini potensial berkembang cepat ke banyak negara bagian sehingga sejak dini Garda Nasional dan militer sudah dilibatkan untuk mengatasinya. Kondisi seperti ini sering terjadi di Indonesia, khususnya setelah reformasi yang membuka kebebasan luas nyaris tanpa batas.
Memang ada sistem perbantuan TNI kepada Polri sesuai Pasal 7 UU No 34/2004 tentang TNI, tetapi sulit direalisasikan karena tebalnya kendala psikologis-egosentrisme. Faktor sosial, lanjut Kiki juga menjadi penyebab konflik. Institusi TNI-Polri tidak hidup di ruangan hampa, tetapi sangat dipengaruhi perkembangan masyarakat, seperti meningkatnya konsumtivisme, transaksionalisme, anarkisme, serta tawuran yang sering terjadi di kalangan pelajar, mahasiswa, dan kelompok masyarakat.
Ketika proses perekrutan, pendidikan, dan pembinaan satuan di kedua institusi tersebut kurang antisipatif dan tidak cukup kuat memfilternya, niscaya akan terinfiltrasi oleh budaya negatif masyarakat tadi.
Selanjutnya faktor teknis, terutama menyangkut kepemimpinan. Tuntutan kepemimpinan di tubuh TNI-Polri harus mampu berperan sebagai komandan sekaligus guru/pelatih, bapak/orangtua dan rekan sejawat. Efektivitas kepemimpinannya sangat dipengaruhi kemampuan memainkan peran-peran tersebut. Untuk itu, diperlukan kebersamaan, komunikasi, kepedulian, dan kepekaan tinggi terhadap kondisi bawahan serta keluarganya. Pelajaran berharga dari kasus Batam, karena kurangnya kepekaan pimpinan kedua belah pihak di lapangan, perkelahian terjadi berulang kali. Seharusnya ada pemonitoran dan antisipasi intensif. Sebab, dengan ditembaknya empat anggota Yonif 134 oleh anggota Brimob, rasa dendamnya tidak mungkin terselesaikan hanya dengan mempertemukan mereka.
Batam juga sering jadi ajang berekreasi dan berbelanja barang mewah para pejabat dari Jakarta yang tak peka, pada saat bersamaan para prajurit di sana harus hidup dengan gaji kecil di tengah mahalnya barang keperluan sehari-hari.
Penindakan Tidak Konsisten
Masalah teknis lain, penindakan hukum yang tak konsisten dan tuntas, seperti dikatakan Menko Polhukham bahwa anggota Brimob yang terlibat belum juga ditindak dan ini diketahui oleh anggota Yonif 134. Rekomendasi Perlu segera dibuat kelompok kerja gabungan TNI-Polri yang serius dan melibatkan para sosiolog, psikolog, serta ahli terkait lain, dalam rangka membulatkan pencarian akar masalah serta merumuskan solusi yang bersifat komprehensif-permanen.
Pada tahun 1997, pokja semacam itu pernah diadakan, tetapi dibubarkan di tengah jalan karena anggota Polri yang dikirim berganti setiap hari sehingga menyulitkan pembahasan. Semoga harapan Presiden Joko Widodo serta masyarakat umumnya untuk melihat hubungan TNI-Polri yang harmonis, komplementer, dan sinergi akan segera terwujud.
Kurikulum Terintegrasi
Dengan menganalisa pola pendidikan pertama BintaraTNI dan Bintara Polri selama ini, Studi yang dilakukan Seskoad menemukan celah untukpenyelenggaraan pendidikan integrasi melalui pentahapanpendidikan sebagai berikut :Pola pendidikan pertama Bintara TNI ADdilaksanakan selama 12 minggu @ 50 JP = 597 JP. Dalampenyelenggaraan pendidikan dilaksanakan melalui TahapDasar Keprajuritan yang meliputi Pembinaan Mental,Militer Umum, Teknik dan Taktik Militer, Intelijen, Hukumserta Jasmani Militer yang dilaksanakan selama 8(delapan) minggu serta Tahap Dasar Golongan Bintarayang meliputi Pembinaan Mental, Perundang Undangan,Militer Umum, Teknik dan Taktik Militer, Intelijen, Teritorialserta Jasmani Militer yang dilaksanakan selama 4 (empat)minggu.
Pentahapan pendidikan pembentukan Bintara Polri Tugas Umum dilaksanakan selama 10 (sepuluh) minggu (438 JP @ JP= 45 menit). Dengan pola pendidikan terdiri dari 6 (enam) minggu pertama pembentukan dasar bhayangkara, kemudian 3 (tiga) minggu untuk pembekalan profesi kepolisian dan 1 (satu) minggu terakhir untuk pembulatan yang meliputi latihan teknis, latihan kerja dan pembekalan bagi para peserta didik Bintara Polri.
Urgensi Pendidikan Terintegrasi
Urgensi dari pendidikan dasar Ba yang terintegrasi guna mewujudkan sinergi TNI (AD) dan Polri akibat banyaknya konflik dan permasalahan lain (interelasi, interaksi dan interdependen) yang terjadi di lapangan antara anggota TNI dan Polri sejak dimulai pemisahan TNI dan Polri dari ABRI. Sehingga sinergi TNI dan Polri di lembaga pendidikan menjadi urgen untuk diterapkan.
Faktor-faktor yang mempengaruhi dalam mewujudkan pendidikan dasar Ba yang terintegrasi guna mewujudkan sinergi TNI (AD) dan Polri terutama dalam menyusun kurikulum pendidikan, yaitu : Pertama, Faktor Psikologis Kultural. Adanya sikap overacting, euforia kewenangan, arogansi, dan kebanggaan korps, kecemburuan kesejahteraan sebagai ekses pemisahannya dari ABRI serta diberlakukannya Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia yang memberikan kewenangan amat luas dalam fungsi Kamtibmas.
Kedua, Faktor Budaya. Perbedaan budaya pendidikan militer dan polisi. Pendidikan di TNI keras yang bertujuan untuk menggembleng keterampilan tempur, stamina, latihan bertahan hidup (jungle survival) sangat tinggi dalam rangka menghancurkan dan membunuh musuh untuk pertahanan Negara (killed or to be killed). Sementara Polri mengimplementasikan pendidikan yang menitikberatkan pada demokrasi dan HAM.
Dari beberapa uraian di atas, diharapkan konflik yang terjadi antara parajurit TNI dan Polri pada tingkat bawah (Bintara dan Tamtama) dapat dihindari karena prajurit (Bintara) telah melaksanakan pendidikan dasar integrasi.
Lebih lanjut, prajurit Ba TNI AD dan Polri setelah bertugas dilapangan, akan dapat saling bersinergi secara baik, dikarenakan masa kebersamaan yang dilewati pada saat mengikuti pendidikan dasar Ba yang terintegrasi guna mewujudkan sinergi TNI (AD) dan Polri, menyebabkan mereka sudah saling kenal, dan terbiasa untuk bekerjasama, tanpa aturan baku pelaksanaan tugas kedua institusi untuk dapat saling bersinergi, menghadapi dan memecahkan persoalan tugas dan pekerjaan di lingkup kerjanya, maupun di daerah operasi.
Kata-kata Jenderal Andika Perkasa menemukan bentuk konkritnya, karena dengan adanya pendidikan terintegrasi di tingkat Perwira, Bintara dan Tamtama TNI AD dan Polri, maka diantaranya keduanya akan saling tahu, mengenal satu sama lain dan akhirnya saling menyayangi. Itulah makna kebersamaan dan upaya agar tak ada lagi dikotomi dan konflik antara TNI AD dan Polri di masa yang akan datang. (SAF).