Site icon Daerahkita

Unjuk Rasa dan Tradisi Demokrasi

Unjuk Rasa dan Tradisi Demokrasi1

Situasi tidak nyaman dirasakan bangsa Indonesia belakangan ini. Masalah muncul silih berganti. Mulai dari Pandemi, PHK Massal, demo Omnibus Law, demo mahasiswa di Banten yang berujung rusuh dan lain-lain. Apakah unjuk rasa harus selalu diakhiri aksi rusuh? Bagaimana sebetulnya cara yang benar dalam melakukan aksi unjuk rasa?

Jakarta – 23/11/2021. Setiap orang berhak untuk menyampaikan pendapat di muka umum yang dijamin dalam Pasal 28E UUD 1945 serta sejumlah peraturan perundang-undangan lainnya. Bentuk kegiatan penyampaian pendapat di muka umum sendiri cukup beragam. Umumnya, dilakukan dengan bentuk unjuk rasa atau demonstrasi, pawai, rapat umum, serta mimbar bebas.

            Walau berhak, akan tetapi pelaksanaan ‘aksi’ tak semerta-merta tanpa aturan. Pasalnya, tak jarang juga aksi yang akhirnya berujung ricuh. Untuk mengatasi hal itu, UU Nomor 9 Tahun 1998 Tentang Kemerdekaan Menyampaikan Pendapat di Muka Umum memberi wewenang kepada Polri untuk menjadi penanggungjawab sekaligus memberikan perlindungan keamanan terhadap peserta aksi.

            Secara teknis, juga telah diterbitkan aturan bagi internal Polri dalam hal mengamankan aksi, yakni dalam Peraturan Kepala Kepolisian (Perkap) Nomor 9 Tahun 2008 Tentang Tata Cara Penyelenggaraan Pelayanan, Pengamanan, dan Penanganan Perkara Penyampaian Pendapat di Muka Umum. Aturan itu mengatur bagaimana aksi yang tidak melanggar ketentuan perundang-undang, mulai dari segi tata cara, waktu dan tempat pelaksanaan, hingga mekanisme penindakan.

            Terkait dengan tata cara, ada sejumlah hal penting yang mesti diperhatikan khususnya terkait dengan bentuk aksi ketika kegiatan itu dilangsungkan. Pasal 12 Perkap Nomor 9 Tahun 2008 merinci cara-cara yang dilarang ketika menyampaikan pendapat di muka umum. Pada prinsipnya, cara-cara yang dilarang saat melakukan aksi, antara lain melakukan perusakan, pembakaran, serta meledakan benda dan bangunan, membawa benda-benda yang membahayakan serta melakukan provokasi untuk melakukan tindakan jahat, kekerasan, serta ujaran kebencian.

            Terlepas dari hal itu, mesti diingat bahwa penyampaian pendapat di muka umum wajib terlebih dahulu sebelumnya diberitahukan ke kepolisian setempat. Hal itu ditegaskan dalam Pasal 7 huruf a Perkap Nomor 9 Tahun 2008 dimana pemberitahuan itu wajib dilakukan secara tertulis kepada pejabat kepolisian dimana kegiatan tersebut dilaksanakan paling lambat 3×24 jam sebelum kegiatan dimulai telah diterima oleh Polri setempat. jika ada perubahan rencana, paling tidak 1×24 jam sebelum pelaksanaan wajib memberitahukan kepada aparat yang bersangkutan.

            Kemudian, terkait dengan waktu pelaksanaan juga diatur sejumlah larangan ketika melakukan aksi. Waktu yang dilarang, yakni pada waktu hari besar nasional, yakni tahun baru, hari raya keagamaan, hari kemerdekaan 17 Agustus, serta hari besar lain yang ditentukan oleh Pemerintah. Selain itu, Pasal 6 ayat (2) Perkap Nomor 9 Tahun 2008 juga diatur batasan waktu yang dibolehkan, yakni antara pukul 6 pagi hingga pukul 6 sore untuk tempat terbuka. Sementara di tempat tertutup antara pukul 6 pagi hingga pukul 10 malam.

            Selanjutnya dari segi tempat, juga terdapat beberapa hal yang mesti diperhatikan berkaitan dengan tempat yang akan dijadikan lokasi untuk melakukan aksi. Tempat ibadah, rumah sakit, pelabuhan udara atau laut, stasiun kereta api, serta terminal angkutan darat dilarang dijadikan tempat penyampaian aksi. Tak hanya itu, Pasal 10 Perkap Nomor 9 Tahun 2008 juga mengatur secara detil batasan-batasan jarak di sejumlah tempat strategis.

            Misalnya, aksi di lingkungan istana kepresidenan, baik presiden dan wakil presiden dilarang dilakukan dalam radius kurang dari 100 meter dari pagar luar. Lalu, untuk objek-objek vital nasional dilarang dalam radius kurang dari 500 meter dari pagar luar. Kemudian di objek-objek vital nasional dilarang dalam radius kurang dari 500 meter dari pagar luar.

            Setidaknya, jika hal-hal di atas telah dipenuhi dan dipatuhi mestinya pelaksanaan kegiatan aksi berjalan dengan teratur dan ‘dikawal’ oleh aparat kepolisian sebagaimana mandat dari UU Nomor 9 Tahun 1998. Sebaliknya, jika sejumlah hal itu dilanggar, berdasarkan ketentuan UU Nomor 9 Tahun 1998 dan Perkap Nomor 9 Tahun 2008, Polri berwenang melakukan sejumlah tindakan dalam rangka menertibkan.

            Tindakan-tindakan yang bisa dilakukan oleh Polri, yakni upaya persuasif, peringatan terhadap peserta yang melanggar, pemberian peringatan kepada penanggung jawab pelaksanaan, penghentian kegiatan, hingga pembubaran masa. Bahkan, bila diperlukan Pasal 14 ayat (3) huruf e memberi wewenang kepada Polri untuk melakukan penangkapan pelaku pelanggar hukum serta melakukan penahanan.

            Selain itu, jika dalam hal penindakan tidak dapat dilakukan seketika, Polri juga berhak melakukan tindakan penegakan hukum setelah situasi memungkinkan dengan pertimbangan akan terjadi kerusuhan yang lebih luas lagi atau kebrutalan masa. lebih lanjut, terkait dengan penyidikan perkara penyampaian pendapat di muka umum. Dilakukan dengan prosedur, penindakan tilang, tindak pidana ringan, penyidikan perkara cepat, penyidikan perkara biasa dengan berpedoman pada KUHAP dan ketentuan pelaksanaannya.

Unjuk Rasa Sebagai Kontrol

            “Budaya aksi unjuk rasa” menurut Tri Pranadji, Peneliti dari Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian sebagaimana diungkapkan dalam jurnal berjudul Aksi Unjuk Rasa (dan Radikalisme) Serta Penanganannya  dalam Alam Demokrasi di Indonesia, bukan saja telah dikenal masyarakat Indonesia pada jaman prademokrasi, jauh sebelum kemerdekaan, melainkan juga telah dipraktekkan secara arif

dan santun.

            Aksi unjuk rasa pada jaman pra-demokrasi secara sengaja telah dilembagakan bukan saja sebagai mekanisme kontrol oleh masyarakat atau ”check and balances” terhadap kebijakan pemerintah (kerajaan), melainkan juga sebagai bagian dari penguatan moral bersama (”collective moral obligation”) dalam rangka mewujudkan kesejahteraan masyarakat dan kehormatan (pemerintahan) raja.

            Sensitivitas penguasa (raja atau sultan) terhadap pernyataan tuntutan masyarakat sangat menentukan rasa hormat masyarakat terhadap penguasa. Merespon aksi unjuk rasa secara elegan adalah kewajiban dan tanggung jawab sosial-politik penguasa pada rakyatnya.

            Kewajiban dan tanggung jawab tersebut merupakan indikator ketinggian moralitas dan religiusitas seorang pemimpin negara (kerajaan) yang ditransmisikan menjadi ”moral bangsa” dalam penyelenggaraan pemerintahan.

            Pengelolaan kelembagaan aksi unjuk rasa berada dalam bingkai kearifan masyarakat dan moralitas penyelenggaraan pemerintahan sudah diterapkan pada masa pemerintahan pra-kemerdekaan atau pra-demokrasi.

            Hanya saja, ruang gerak masyarakat pada alam prademokrasi dalam melakukan aksi unjuk rasa masih terbatas pada memperjuangkan kebutuhan subsistensinya. Hak -hak masyarakat untuk memperoleh akses pada “kekuasaan” (politik, ekonomi pasar, dan pemerintahan) pada masa itu masih sangat dibatasi.

            Pada era demokrasi (pasca kemerdekaan) ruang bagi masyarakat untuk melakukan unjuk rasa berkembang semakin luas. Halyang belum tampak diupayakan untuk diatasi secara serius dan sistematik adalah bahwa masuknya budaya demokrasi ala barat tidak mengalami proses penyaringan yang kuat.

            Hal ini ditunjukkan dengan semakin derasnya arusbudaya hedonisme-individualisme-sekulerisme dari masyarakat modern-barat ke dalamtatanan budaya altruisme-gotong royong religius pada masyarakat tradisi-timur diIndonesia.

            Dengan penataan sosio-politik ekonomi yang tidak memihak pada rakyatbanyak dan juga tidak sejalan dengan amanatkonstitusi, maka hubungan antara penguasa(elit politik-pemerintah-pengusaha) dan rakyat banyak menjadi semakin tegang, sejalandengan semakin tajamnya jurang kesenjangansosial-ekonomi-politik yang terbentuk. Dalamsuasana kesenjangan yang demikian inilahbudaya aksi unjuk rasa di alam demokrasitumbuh dan berkembang di Indonesia.

            Radikalisme dalam aski unjuk rasa tidak dapat dilepaskan dari suasana yang menghimpit rakyat banyak di bidang pemenuhan kebutuhan dasar. Radikalisme dapat dipandang sebagai gejala hilir dari kebebalan kalangan elit (politik, pengusaha dan aparat negara) dalam merespon ketidakpuasan dan tuntutan masyarakat.

            Kebebalan dan “ketidakpedulian” kalangan elit terhadap jeritan dan himpitan masyarakat di bidang pemenuhan kebutuhan dasar menimbulkan sikap antipati masyarakat terhadap kalangan elit tersebut.

            Akumulasi dari sikap antipati ini, masih menurut Pranadji, menimbulkan “socio-political distrust” yang sangat tinggi di kalangan masyarakat luas terhadap kalangan elit. Sebagai kelanjutannya, hubungan antara masyarakat dan elit diliputi suasana ketegangan yang nyaris mencekam. Himpitan kesulitan hidup, yang mengancam kebutuhan subsistensi masyarakat banyak, akan mudah melahirkan ”radikalisme” dalam aksi unjuk rasa. Dengan kata lain, dalam suasana demikian inilah aksi unjuk rasa sangat mudah berteman dengan tindakan anarkis yang bersifat radikal.

Permusuhan

            Berangkat dari realitas tindakan anarkis tersebut, penanganan aksi unjuk rasa akhir-akhir ini masih sarat dengan susana “permusuhan” di ruang publik, yaitu antara (aparat) yang menangani pengunjuk rasa di satu sisi dengan pelaku yang melakukan unjuk rasa di sisi lain.         Timbulnya suasana ”permusuhan” ini dinilai sebagai kegagalan dalam menangani aksi unjuk rasa tidaklah sepenuhnya dapat dibenarkan. Dapat dikemukakan bahwa umumnya “aksi unjuk rasa” dilakukan merupakan jalan terakhir bagi masyarakat untuk menyampaikan pendapat dan tuntutan nya dalam bentuk protes terbuka di ruang publik.

            Secara umum masyarakat sangat memahami mengenai pentingnya penyampaian pendapat secara santun dan damai. Proses “pembelajaran” yang dilakukan kalangan elit dalam merespon tuntutan masyarakat masih sangat jauh dari harapan masyarakat. Penanganan aksi unjuk rasa dengan pendekatan dialogis, musyawarah secara interaktif, serta bertujuan untuk membangun sikap saling mempercayai (”mutual trust”) sangatlah penting.

            Hal ini sekaligus untuk membangun budaya ”tidak ada dusta di antara kita” yang menjadi landasan untuk membangun sikap saling menghargai (”mutual respect”).

            Demonstrasi dan unjuk rasa di negara demokrasi seperti Indonesia bukanlah hal yang baru. Aksi tersebut sudah sangat lazim digunakan sebagai instrumen untuk mengomunikasikan sesuatu atau menyampaikan aspirasi. Di berbagai belahan dunia pun, demonstrasi seakan menjadi cara yang paling ampuh bagi masyarakat bawah yang terbungkam untuk menyuarakan aspirasi kepada penguasa. Khusus di Indonesia, semenjak demonstrasi besar-besaran yang digelar mahasiswa saat menggulingkan pemerintahan Orde Baru, semenjak itu pula demonstrasi selalu menjadi peristiwa rutin yang menghiasi halaman pemberitaan di Indonesia.

Kebebasan Berpendapat

            Aksi demonstrasi di negeri ini dianggap sebagai salah satu refleksi dari proses demokrasi karena demokrasi menghendaki adanya partisipasi masyarakat untuk mengawal jalannya pemerintahan sehingga aksi tersebut dilakukan untuk mempertontonkan suatu kebebasan berekspresi dan menyampaikan gagasan. Namun, sayangnya, demonstrasi terkadang dijadikan alat untuk memaksakan kehendak dari sekelompok orang terhadap otoritas tertentu, terlepas dari valid atau tidaknya tuntutan mereka tersebut.

            Selain itu, demonstrasi merupakan ekspresi dari sebuah kebebasan berpendapat, menyampaikan aspirasi dan kritikan terhadap suatu kebijakan yang disertai niat menegakkan keadilan membela kebenaran. Karena itu, dalam melakukan aksinya, mahasiswa sebagai kaum intelektual seharusnya menunjukkan sikap kritis dengan cara-cara yang intelek, elegan, dan bijaksana. Para demonstran harus memegang teguh prinsip etis (sesuai norma), analitis (memahami akar permasalahan), dan harus diikuti dengan pernyataan solutif sebagai masukan dan saran atas kekurangan yang ada karena kritikan tanpa saran konstruktif bagaikan sebuah teori yang tak didukung oleh dalil ilmiah yang valid.

            Kebebasan berpendapat tersebut harus berlandaskan pada nilai-nilai religius dan etika budaya bangsa serta menaati peraturan hukum yang berlaku sehingga dalam melakukan aksi tersebut tidak menimbulkan kerusakan dalam tatanan kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Apalagi, jika melihat demonstrasi mahasiswa akhir-akhir ini yang cenderung anarkistis, ditambah lagi dengan tindakan represif dari pihak keamanan yang selalu berakhir ricuh. Maksud hati ingin memperjuangkan nasib rakyat, namun sayangnya, tidak sedikit rakyat yang menderita akibat aksi tersebut.

            Gejolak demonstrasi di berbagai penjuru Tanah Air tentu bukanlah sesuatu yang salah karena memang itu adalah sebuah konsekuensi atas pilahan dan kesepakatan kita yang telanjur menganut sistem demokrasi, yaitu setiap orang dijamin oleh konstitusi untuk bebas berpendapat dan mengkritik sesuatu, termasuk kebijakan presiden sekalipun. Namun, satu hal yang harus dipahami bahwa kebebasan berpendapat dan mengkritisi sesuatu bukan berarti dengan seenak hati menghujat orang lain tanpa batas-batas etika dan kesopanan. Bukan pula dengan mengatasnamakan demokrasi lalu setiap orang bisa turun ke jalan berdemonstrasi sambil melakukan aksi anarkistis dengan merusak fasilatas umum dan mengganggu ketertiban lalu lintas sembari meneriakkan kebenaran dan keadilan.

            Dari uraian tersebut dapat diperoleh sebuah gagasan bahwa pada dasarnya unjuk rasa dan demonstrasi merupakan salah satu bentuk refleksi dari sistem demokrasi. Karena itu, sebagai warga negara, kita harus berani menyampaikan pendapat yang benar dan tidak takut mengkritik kebijakan pemerintah yang merugikan rakyat, bahkan kepada pemimipin negara sekalipun.

Lomba Orasi

             Dalam rangka membangun mutual respect, menumbuhkembangkan iklim demokrasi yang sehat, tentu berbagai aspirasi rakyat itu harus disalurkan dengan tepat serta direspon positif oleh aparat pemerintah. Dalam hal ini, Kepolisian RI sangat berkepentingan dengan penanganan unjuk rasa ini. Berbagai ihtiar telah banyak ditempuh Polri dengan senantiasa dekat dengan masyarakat. Salah satunya dengan coba menampung aspirasi masyarakat dalam berbagai bentuk. Semua tentu untuk kebaikan dan keharmonisan di masyarakat.

            Setelah sukses menggelar Lomba Mural di berbagai kota demi tersalurnya aspirasi rakyat, maka kali ini dalam rangka Hari Hak Asasi Manusia sedunia, Divisi Humas Polri menggelar Lomba Orasi. Dalam rilis dan akun media sosialnya, Divisi Humas Polri menyampaikan pesan dengan jelas. Menyampaikan pendapat? Menyampaikan aspirasi? Siapa bilang dilarang! Asalkan dengan cara yang tepat, santun dan tertib, tidak ada larangan.

            Dalam rangka hari Hak Asasi Manusia (HAM) yang jatuh pada tanggal 10 Desember 2021 nanti, Polri mengadakan “LOMBA ORASI” untuk memberikan edukasi kepada masyarakat terkait kemerdekaan menyampaikan pendapat di muka umum dengan cara yang tertib dan tidak mengganggu aktivitas publik.

            Berminat ? Segera datang ke Polda terdekat sesuai tempat tinggal kalian. Ayo segera Daftar, Pendaftarannya Gratis. Total Hadiah Ratusan Juta Rupiah,

Informasi lebih lanjut, pantengin terus akun media sosial resmi Polri. IG : @divisihumaspolri, FB : Divisi Humas Polri, TW : @divhumas_polri. Terlepas dari apakah para aktivis akan merespon lomba ini dengan antusias atau tidak, sisi posiftif yang bisa lihat adalah betapa Polri terus berpupaya, bersungguh-sungguh melayani dan mengakomodasi setiap aspirasi masyarakat dengan membukakan salurannya. (SAF).    

Exit mobile version