Jakarta, 1 Agustus 2024 – Dr. Ali Mochtar Ngabalin, S. Ag., M. Si, yang baru saja dikukuhkan sebagai Guru Besar di Busan University of Foreign Studies (BUFS), menyampaikan pentingnya memperkuat moderasi beragama melalui media dalam pidato pengukuhannya. Dalam pidatonya, yang juga disampaikan kepada sejumlah akademisi dan tokoh terkemuka, Ngabalin menekankan bahwa media memegang peranan vital dalam membentuk narasi positif dan memperkuat sikap moderat dalam beragama di tengah masyarakat.
Moderasi Beragama dan Tantangan Ekstremisme
Menurut Ngabalin, moderasi beragama adalah pendekatan beragama yang menghindari posisi ekstrem dan mendorong sikap seimbang dalam menjalankan keyakinan agama. Dalam dunia yang semakin terpolarisasi, moderasi beragama menjadi kunci untuk menjaga keharmonisan antar umat beragama. Ia menjelaskan bahwa moderasi beragama bukan sekadar menghindari ekstremisme, tetapi juga mengajarkan penghargaan terhadap perbedaan, serta menciptakan ruang dialog antar agama yang saling menghormati.
“Moderasi beragama mengajarkan kita untuk menghargai keyakinan yang berbeda dan mengutamakan sikap saling menghormati. Ini adalah fondasi untuk menciptakan hidup yang damai dalam masyarakat yang beragam,” kata Ngabalin. Ia menambahkan, dengan meningkatnya ancaman ekstremisme dan radikalisasi di banyak belahan dunia, penting bagi setiap individu dan komunitas untuk mengadopsi pendekatan yang moderat dalam beragama.
Peran Media dalam Mempromosikan Moderasi Beragama
Dalam era digital saat ini, media memegang peranan yang sangat penting dalam membentuk opini publik. Ngabalin menekankan bahwa media, baik melalui saluran tradisional seperti televisi dan radio, maupun platform digital seperti media sosial, memiliki potensi besar untuk menyampaikan pesan-pesan moderasi beragama. Menurutnya, media dapat memainkan peran ganda: sebagai alat edukasi dan sarana untuk memperkuat nilai-nilai toleransi antar umat beragama.
“Saat ini, media sosial bisa menjadi saluran yang sangat efektif untuk menyebarkan narasi moderasi beragama. Platform digital seperti Instagram, Twitter, dan YouTube memberi kesempatan bagi masyarakat untuk terlibat dalam dialog antaragama yang konstruktif, serta memperkenalkan model hidup berdampingan yang harmonis,” jelasnya.
Ngabalin juga menggarisbawahi pentingnya menciptakan konten yang mengangkat kisah-kisah sukses tentang kerukunan antar umat beragama. Media bisa menjadi ruang untuk menampilkan contoh-contoh nyata bagaimana masyarakat dengan latar belakang agama yang berbeda dapat hidup berdampingan dalam suasana damai. Dengan memperkenalkan cerita-cerita positif, masyarakat dapat belajar untuk lebih menghargai perbedaan dan membangun rasa saling percaya.
Strategi Media dalam Memperkuat Moderasi Beragama
Ada beberapa cara yang bisa dilakukan oleh media untuk memperkuat moderasi beragama. Ngabalin menyarankan agar media lebih banyak menghadirkan tokoh-tokoh moderat, baik itu pemimpin agama, intelektual, maupun tokoh masyarakat, yang dapat memberikan wawasan tentang pentingnya hidup berdampingan dengan perbedaan agama.
Selain itu, media juga dapat memfasilitasi dialog antaragama yang sehat dan produktif. Forum-forum diskusi yang diselenggarakan melalui televisi, radio, maupun media sosial, dapat menjadi tempat bagi pemuka agama dan masyarakat untuk berbagi pandangan dan mendorong pemahaman yang lebih dalam tentang ajaran agama yang moderat. Ngabalin percaya bahwa dialog seperti ini akan sangat bermanfaat untuk meredakan ketegangan dan mengurangi prasangka yang seringkali muncul akibat ketidaktahuan atau stereotip terhadap agama tertentu.
Membangun Kesadaran Toleransi sejak Dini
Ngabalin juga menekankan pentingnya pendidikan dalam membangun moderasi beragama. Salah satu cara efektif untuk menanamkan nilai-nilai moderasi adalah dengan memasukkan prinsip-prinsip ini dalam kurikulum pendidikan, sehingga generasi muda dapat memahami dan mengamalkan sikap moderat dalam kehidupan mereka. Pendidikan menjadi kunci untuk menciptakan masyarakat yang tidak hanya toleran, tetapi juga paham tentang pentingnya menjaga keseimbangan dalam menjalankan ajaran agama.
Di samping itu, peran media dalam menyebarkan konten yang mengedukasi masyarakat tentang moderasi beragama sangatlah vital. Melalui artikel-artikel, program-program televisi, serta kampanye di media sosial, pesan-pesan toleransi dan moderasi bisa disampaikan dengan cara yang lebih menarik dan mudah dipahami oleh berbagai kalangan.
Mendorong Reformasi dan Keberanian Moral
Ngabalin menekankan bahwa sikap moderat dalam beragama harus didorong dengan reformasi. “Sikap moderat saja tidak cukup. Harus ada gerakan reformasi untuk mengatasi praktik-praktik yang bertentangan dengan nilai-nilai moderasi dalam agama,” ujarnya. Reformasi dalam konteks ini berarti perubahan dalam cara pandang dan praktik keagamaan agar lebih sesuai dengan nilai-nilai toleransi dan kedamaian.
Tak hanya itu, keberanian moral juga menjadi aspek penting dalam memperkuat moderasi beragama. “Keberanian moral untuk melawan ekstremisme dan membela toleransi sangat penting dalam menjaga keharmonisan komunitas,” tambahnya.
Menguatkan Kerjasama Internasional untuk Moderasi Beragama
Selain peran media domestik, Dr. Ali Mochtar Ngabalin juga menyoroti pentingnya kerjasama internasional dalam mempromosikan moderasi beragama. Dalam pidatonya, ia menyebutkan bahwa Indonesia, sebagai negara dengan populasi Muslim terbesar dan masyarakat yang sangat multikultural, memiliki posisi strategis dalam memperkenalkan dan mempromosikan moderasi beragama di tingkat global.
Melalui hubungan bilateral dengan negara-negara sahabat, seperti yang ia sebutkan dalam konteks kerjasama Indonesia dengan Korea Selatan, Indonesia dapat berbagi pengalaman dan praktik terbaik dalam mengelola keberagaman agama. Negara-negara dengan latar belakang agama dan budaya yang berbeda dapat saling belajar dari satu sama lain tentang bagaimana menciptakan masyarakat yang damai dan toleran.
“Indonesia memiliki pengalaman yang berharga dalam menjalani kehidupan yang penuh toleransi antar umat beragama. Kami ingin berbagi pengalaman ini, bukan hanya dengan negara-negara di Asia Tenggara, tetapi juga dengan negara-negara lain di seluruh dunia,” ujar Ngabalin.
Dengan memperkuat hubungan antarnegara, khususnya di bidang pendidikan dan budaya, diharapkan pesan moderasi beragama dapat tersebar lebih luas dan memberikan dampak positif bagi masyarakat global yang tengah menghadapi tantangan ekstremisme dan polarisasi agama.
Mendorong Pembentukan Kebijakan Publik yang Mendukung Moderasi
Lebih jauh lagi, Ngabalin menekankan perlunya kebijakan publik yang mendukung moderasi beragama. Sebagai seorang akademisi yang juga menjabat sebagai Juru Bicara Kantor Staf Kepresidenan Republik Indonesia, ia percaya bahwa pemerintah harus memainkan peran kunci dalam menciptakan kebijakan yang tidak hanya melindungi kebebasan beragama, tetapi juga mempromosikan sikap moderat dalam praktik keagamaan.
Pemerintah dapat mendorong kebijakan yang mendukung pendidikan agama yang inklusif dan mengajarkan prinsip-prinsip moderasi beragama di seluruh lapisan masyarakat. Dalam hal ini, media massa dan media sosial harus dioptimalkan sebagai saluran utama untuk menyosialisasikan kebijakan tersebut secara efektif.
“Moderasi beragama harus menjadi bagian dari kebijakan negara. Ini bukan hanya tugas para pemimpin agama atau masyarakat sipil, tetapi juga tanggung jawab negara untuk menyediakan ruang bagi diskusi konstruktif yang mempromosikan kedamaian dan toleransi,” kata Ngabalin.
Tantangan dan Harapan ke Depan
Meski langkah-langkah untuk memperkuat moderasi beragama melalui media dan kebijakan telah digariskan, tantangan yang dihadapi Indonesia dan dunia secara umum tetap besar. Penyebaran ideologi ekstrem yang semakin mudah diakses melalui internet dan media sosial menjadi salah satu hambatan utama dalam memperkenalkan dan menguatkan sikap moderat dalam beragama. Oleh karena itu, edukasi kepada masyarakat luas—terutama generasi muda—tentang bahaya ekstremisme dan pentingnya toleransi menjadi langkah yang tak bisa diabaikan.
Di sisi lain, media memiliki tanggung jawab besar dalam memberikan edukasi dan informasi yang akurat tentang ajaran agama yang moderat. Media harus mampu menanggulangi berita palsu (hoaks) dan narasi kebencian yang bisa memicu polarisasi dan konflik antar umat beragama. “Media harus memiliki integritas untuk menyajikan konten yang mendidik, mengedepankan prinsip keseimbangan, serta mengajak masyarakat untuk berpikir kritis,” ujar Ngabalin.
Kedepannya, harapan besar tertumpu pada peran media sebagai agen perubahan yang dapat membawa dunia pada kehidupan yang lebih harmonis. Melalui kolaborasi antara berbagai elemen masyarakat—baik pemerintah, media, organisasi masyarakat sipil, dan komunitas agama—moderasi beragama dapat menjadi pondasi yang kuat untuk menjaga kedamaian, tidak hanya di Indonesia, tetapi juga di seluruh dunia.
Menjaga Keharmonisan di Indonesia dan Dunia
Di akhir pidatonya, Ngabalin kembali menegaskan bahwa moderasi beragama adalah kunci untuk menjaga persatuan dalam keberagaman. Sebagai negara dengan berbagai agama dan budaya, Indonesia menjadi contoh penting dalam menunjukkan bahwa perbedaan agama bukanlah halangan untuk hidup berdampingan. Sebaliknya, perbedaan tersebut harus dijadikan kekuatan yang memperkaya kehidupan sosial dan budaya.
“Mari kita gunakan media untuk menyebarkan narasi yang mengedepankan toleransi, saling menghargai, dan kebersamaan. Moderasi beragama bukan hanya tanggung jawab individu atau kelompok tertentu, tetapi kita semua harus berperan aktif dalam mewujudkan dunia yang damai dan saling menghormati,” tutup Ngabalin.
Dengan langkah-langkah yang terencana dan kerjasama lintas sektoral yang solid, moderasi beragama di Indonesia bisa terus diperkuat dan menjadi contoh bagi dunia dalam menciptakan perdamaian global. Harapan ini juga sejalan dengan tujuan Indonesia untuk terus menjadi negara yang dapat mempertahankan keberagaman dan menciptakan kemakmuran bagi seluruh rakyatnya.
Menguatkan Kerjasama Internasional untuk Moderasi Beragama
Selain peran media domestik, Dr. Ali Mochtar Ngabalin juga menyoroti pentingnya kerjasama internasional dalam mempromosikan moderasi beragama. Dalam pidatonya, ia menyebutkan bahwa Indonesia, sebagai negara dengan populasi Muslim terbesar dan masyarakat yang sangat multikultural, memiliki posisi strategis dalam memperkenalkan dan mempromosikan moderasi beragama di tingkat global.
Melalui hubungan bilateral dengan negara-negara sahabat, seperti yang ia sebutkan dalam konteks kerjasama Indonesia dengan Korea Selatan, Indonesia dapat berbagi pengalaman dan praktik terbaik dalam mengelola keberagaman agama. Negara-negara dengan latar belakang agama dan budaya yang berbeda dapat saling belajar dari satu sama lain tentang bagaimana menciptakan masyarakat yang damai dan toleran.
“Indonesia memiliki pengalaman yang berharga dalam menjalani kehidupan yang penuh toleransi antar umat beragama. Kami ingin berbagi pengalaman ini, bukan hanya dengan negara-negara di Asia Tenggara, tetapi juga dengan negara-negara lain di seluruh dunia,” ujar Ngabalin.
Dengan memperkuat hubungan antarnegara, khususnya di bidang pendidikan dan budaya, diharapkan pesan moderasi beragama dapat tersebar lebih luas dan memberikan dampak positif bagi masyarakat global yang tengah menghadapi tantangan ekstremisme dan polarisasi agama.
Mendorong Pembentukan Kebijakan Publik yang Mendukung Moderasi
Lebih jauh lagi, Ngabalin menekankan perlunya kebijakan publik yang mendukung moderasi beragama. Sebagai seorang akademisi yang juga menjabat sebagai Juru Bicara Kantor Staf Kepresidenan Republik Indonesia, ia percaya bahwa pemerintah harus memainkan peran kunci dalam menciptakan kebijakan yang tidak hanya melindungi kebebasan beragama, tetapi juga mempromosikan sikap moderat dalam praktik keagamaan.
Pemerintah dapat mendorong kebijakan yang mendukung pendidikan agama yang inklusif dan mengajarkan prinsip-prinsip moderasi beragama di seluruh lapisan masyarakat. Dalam hal ini, media massa dan media sosial harus dioptimalkan sebagai saluran utama untuk menyosialisasikan kebijakan tersebut secara efektif.
“Moderasi beragama harus menjadi bagian dari kebijakan negara. Ini bukan hanya tugas para pemimpin agama atau masyarakat sipil, tetapi juga tanggung jawab negara untuk menyediakan ruang bagi diskusi konstruktif yang mempromosikan kedamaian dan toleransi,” kata Ngabalin.
Tantangan dan Harapan ke Depan
Meski langkah-langkah untuk memperkuat moderasi beragama melalui media dan kebijakan telah digariskan, tantangan yang dihadapi Indonesia dan dunia secara umum tetap besar. Penyebaran ideologi ekstrem yang semakin mudah diakses melalui internet dan media sosial menjadi salah satu hambatan utama dalam memperkenalkan dan menguatkan sikap moderat dalam beragama. Oleh karena itu, edukasi kepada masyarakat luas—terutama generasi muda—tentang bahaya ekstremisme dan pentingnya toleransi menjadi langkah yang tak bisa diabaikan.
Di sisi lain, media memiliki tanggung jawab besar dalam memberikan edukasi dan informasi yang akurat tentang ajaran agama yang moderat. Media harus mampu menanggulangi berita palsu (hoaks) dan narasi kebencian yang bisa memicu polarisasi dan konflik antar umat beragama. “Media harus memiliki integritas untuk menyajikan konten yang mendidik, mengedepankan prinsip keseimbangan, serta mengajak masyarakat untuk berpikir kritis,” ujar Ngabalin.
Kedepannya, harapan besar tertumpu pada peran media sebagai agen perubahan yang dapat membawa dunia pada kehidupan yang lebih harmonis. Melalui kolaborasi antara berbagai elemen masyarakat—baik pemerintah, media, organisasi masyarakat sipil, dan komunitas agama—moderasi beragama dapat menjadi pondasi yang kuat untuk menjaga kedamaian, tidak hanya di Indonesia, tetapi juga di seluruh dunia.
Menjaga Keharmonisan di Indonesia dan Dunia
Di akhir pidatonya, Ngabalin kembali menegaskan bahwa moderasi beragama adalah kunci untuk menjaga persatuan dalam keberagaman. Sebagai negara dengan berbagai agama dan budaya, Indonesia menjadi contoh penting dalam menunjukkan bahwa perbedaan agama bukanlah halangan untuk hidup berdampingan. Sebaliknya, perbedaan tersebut harus dijadikan kekuatan yang memperkaya kehidupan sosial dan budaya.
“Mari kita gunakan media untuk menyebarkan narasi yang mengedepankan toleransi, saling menghargai, dan kebersamaan. Moderasi beragama bukan hanya tanggung jawab individu atau kelompok tertentu, tetapi kita semua harus berperan aktif dalam mewujudkan dunia yang damai dan saling menghormati,” tutup Ngabalin.
Dengan langkah-langkah yang terencana dan kerjasama lintas sektoral yang solid, moderasi beragama di Indonesia bisa terus diperkuat dan menjadi contoh bagi dunia dalam menciptakan perdamaian global. Harapan ini juga sejalan dengan tujuan Indonesia untuk terus menjadi negara yang dapat mempertahankan keberagaman dan menciptakan kemakmuran bagi seluruh rakyatnya.
Peran Generasi Muda dalam Membangun Moderasi Beragama
Sebagai penutup dari pidatonya, Dr. Ali Mochtar Ngabalin mengingatkan pentingnya melibatkan generasi muda dalam gerakan moderasi beragama. Generasi muda, menurutnya, merupakan pilar utama dalam menciptakan masa depan yang damai dan toleran. Dengan semakin berkembangnya teknologi informasi dan komunikasi, generasi muda memiliki akses yang sangat besar terhadap media sosial dan berbagai platform digital lainnya, yang memberikan peluang sekaligus tantangan dalam membentuk sikap mereka terhadap perbedaan agama dan budaya.
“Mereka adalah agen perubahan yang akan membentuk cara kita berinteraksi dalam dunia yang semakin terhubung. Oleh karena itu, penting bagi mereka untuk dibekali dengan pemahaman yang benar tentang moderasi beragama,” tegas Ngabalin. Oleh karena itu, pendidikan berbasis toleransi, kedamaian, dan saling menghormati harus menjadi bagian dari kurikulum yang diperkenalkan sejak dini.
Dalam hal ini, media memiliki peran yang sangat vital untuk menjangkau dan mempengaruhi generasi muda. Konten edukatif yang mengajarkan nilai-nilai moderasi dan kerukunan antar umat beragama dapat membantu mereka memahami pentingnya menjaga kedamaian meski dalam keberagaman yang ada. Ngabalin juga menyarankan agar media lebih fokus pada penyebaran informasi yang mengedepankan prinsip kebersamaan, bukan narasi-narasi yang memperburuk perpecahan atau memperkuat polarisasi sosial.
Menjadi Teladan dalam Praktik Moderasi Beragama
Dalam langkah konkret, Ngabalin juga menyarankan agar para pemimpin agama dan tokoh masyarakat menjadi teladan dalam menerapkan prinsip moderasi beragama. Mereka harus mampu menunjukkan bahwa moderasi bukan hanya sebuah konsep, tetapi juga sesuatu yang dapat diterapkan dalam kehidupan sehari-hari. Hal ini bisa dilakukan melalui berbagai cara, seperti mengadakan dialog antar umat beragama, memperkenalkan program-program bersama yang melibatkan berbagai komunitas, dan memperkuat kerjasama antara agama-agama yang berbeda untuk kebaikan bersama.
“Pemimpin agama harus memimpin dengan contoh, mengajarkan kepada umat mereka bahwa perbedaan bukanlah hal yang harus ditakuti, tetapi sesuatu yang harus dirayakan. Tugas kita adalah menciptakan ruang bagi perbedaan untuk berkembang dalam suasana yang aman, damai, dan penuh kasih,” tambah Ngabalin.
Selain itu, pemimpin agama juga bisa memainkan peran penting dalam menggunakan media untuk menyebarkan pesan-pesan kedamaian dan moderasi. Mereka dapat berkolaborasi dengan media untuk menyebarkan ajaran-ajaran yang menekankan pentingnya toleransi, menjaga sikap seimbang dalam beragama, serta menghindari tindakan ekstrem yang dapat memicu kekerasan.
Mengatasi Tantangan Global melalui Kolaborasi Internasional
Tak hanya di tingkat domestik, Ngabalin juga mengajak negara-negara lain untuk bekerja sama dalam memperkenalkan dan memperkuat moderasi beragama di dunia internasional. Dalam pidatonya, ia menekankan bahwa dalam menghadapi tantangan global seperti terorisme, radikalisasi, dan konflik antar agama, penting bagi negara-negara untuk berkolaborasi. Salah satu bentuk kolaborasi ini dapat berupa pertukaran pengetahuan dan pengalaman dalam mengelola keberagaman agama serta mendiskusikan cara-cara untuk mencegah radikalisasi yang berbasis agama.
Ngabalin mencontohkan kerjasama Indonesia dengan Korea Selatan sebagai model yang bisa diperluas ke negara-negara lain. Melalui kerjasama pendidikan dan budaya, dua negara dengan latar belakang agama yang berbeda dapat bersama-sama memperkuat sikap moderasi beragama, baik di tingkat individu maupun masyarakat luas.
“Kerja sama internasional dalam membangun moderasi beragama sangat penting untuk menciptakan dunia yang aman dan damai. Indonesia, dengan pengalaman panjang dalam mengelola keberagaman, siap untuk berbagi dan belajar dari negara-negara lain,” katanya.
Membangun Indonesia yang Lebih Baik melalui Moderasi Beragama
Sebagai penutup, Dr. Ali Mochtar Ngabalin menyampaikan harapannya untuk masa depan Indonesia yang lebih baik. Ia percaya bahwa moderasi beragama adalah kunci untuk memperkuat persatuan dan kesatuan bangsa Indonesia. Dengan terus mempromosikan toleransi, memahami perbedaan, dan menjaga kerukunan antar umat beragama, Indonesia bisa menjadi contoh bagi dunia dalam membangun masyarakat yang inklusif dan harmonis.
“Moderasi beragama bukan hanya sebuah konsep, tetapi merupakan jalan untuk menciptakan dunia yang lebih damai dan saling menghormati. Semoga kita semua dapat berkontribusi dalam mewujudkan dunia yang lebih baik, dengan berlandaskan pada prinsip-prinsip moderasi dan saling menghargai,” tutup Ngabalin.
Dengan adanya komitmen bersama dari pemerintah, media, akademisi, pemimpin agama, dan masyarakat luas, diharapkan moderasi beragama bisa terus berkembang sebagai pilar penting dalam menciptakan perdamaian dunia. Melalui langkah-langkah strategis yang terencana, kita bisa membangun masa depan yang lebih baik, di mana perbedaan agama, budaya, dan suku menjadi kekuatan, bukan pemecah belah.
Penulis : Salma Hasna