AMBON — Peneliti bahasa Harlin Turiah mengatakan seiring berjalannya waktu beberapa bahasa daerah di Maluku menghadapi ancaman kepunahan. Hal ini disebabkan oleh berkurangnya jumlah generasi muda yang menggunakan bahasa daerah maluku dan kurangnya upaya perlindungan dan revitalisasi.
Pada hari Rabu, Harlin Turiah peneliti bahasa di Kantor Bahasa Provinsi Maluku di Ambon mengatakan: “Beberapa bahasa Maluku terancam punah. Ini harus segera diantisipasi karena seiring waktu, mereka seharusnya menjadi bagian dari budaya Bahasanya akan hilang.” (2/11).
Ia mengatakan dibandingkan dengan provinsi lain, khususnya provinsi timur Indonesia seperti Papua dan Nusa Tenggara Timur, bahasa asli daerah Maluku menghadapi ancaman kepunahan seiring berjalannya waktu.
Selain itu karena jumlah penutur asli di kalangan anak muda, kurangnya upaya pemerintah dan masyarakat setempat untuk melestarikan dan melindungi bahasa mereka melalui pembelajaran sehari-hari juga menjadi faktor utama punahnya bahasa daerah.
Harlin mengutarakan, Bahasa Masarete dari Kabupaten Buru. Saat ini penutur asli bahasa tersebut hanya tersisa satu orang dan usianya sudah lebih dari 80 tahun. Jika pengetahuan berbahasa dan komunikasi Masarete dari penutur asli tidak segera ditransfer maka akan benar-benar punah, seperti halnya bahasa Lowon.
Bahasa Lowon dari Desa Latea, Kecamatan Seram Utara Barat, Kabupaten Maluku Tengah, dinyatakan telah punah setelah satu-satunya penutur asli bahasa tersebut meninggal dunia dalam peristiwa bencana alam gempa bumi lima tahun lalu.
“Salah satu ancaman kebahasaan yang paling besar di Indonesia ada di Maluku, lebih cepat dibandingkan beberapa provinsi lain seperti Papua dan Nusa Tenggara Timur, karena tidak ada upaya untuk pelestarian maupun revitalisasi dari pemerintah dan masyarakat,” kata dia.
Ia mengungkapkan, saat ini ada 62 bahasa asli daerah Maluku yang telah terdata di Peta Bahasa Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud), di antaranya bahasa Alune, Ambalau, Asilulu, Balkewan, Banda, Barakay, Batulei, Bobar, Boing, Buru, Damar Timur dan Dawelor.
Kantor Bahasa Provinsi Maluku mengusulkan Bahasa Koa dengan penutur aslinya adalah Suku Mausu Ane di Kabupaten Maluku Tengah, Bahasa Emar dari Pulau Kesui dan Bahasa Taul dari Desa Atiahu, Kecamatan Siwalalat, Kabupaten Seram Bagian Timur untuk menambah 62 bahasa daerah yang telah terdata.
Tahun ini, Kantor Bahasa Provinsi Maluku kembali mengusulkan dua bahasa lainnya kepada Kemendikbud, yakni Bahasa Teor dan Bati dari Kabupaten Seram Bagian Timur agar dimasukkan dalam Peta Bahasa.
“Sesama suku gunakanlah bahasa daerah, berbeda suku gunakan bahasa Indonesia, kalau berbeda negara maka gunakan bahasa asing. Penutur asli bertanggung jawab terhadap bahasa daerahnya jadi harus direvitalisasi dan dituturkan sehari-hari, baik secara formal maupun non formal di lembaga pendidikan atau di pertemuan adat,” kata Harlin.
Baca juga : Pandemi Belum Berakhir, 2024 Sudah Mulai
sumber : Antara